BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Islam adalah agama dan jalan jalan
hidup yang berdasarkan pada firman Allah yang bermaktub di dalam al-Quran dan
Sunnah Rasulullah, Muhammad SAW. Setiap orang islam berkewajiban untuk
bertingkah laku dalam seluruh hidupnya sesuai dengan ketentuan –ketentuan
al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, setiap orang islam hendaknya
memperhatikan tiap langkahnya untuk membedakan antara yang benar (Halal) dan yang
salah (Haram).
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian
qiradl,rukun dan syarat qiradl, larangan bagi yang menjalankan modal.
2. Pengertian
dan hukum ‘ijarah, rukun dan syarat ‘ijarah, macam-macam ‘ijarah, batal dan
habismnya ‘ijarah.
3. Pengertian
dan Hukum Ariyah, Rukun dan syarat Ariyah.
4. Pengertian
dan Hukum Ad-dain, rukun Hutang Piutang, menambah dan Pengembalian Hutang.
5. Pengertian
dan Hukum Ji’alah, pembatalan Ji’alah.
6. Mudharabah
(kerjasama bagi hasil)
7. Perjanjian
perdagangan yang haram
BAB II
PERMASALAHAN
A.
Qiradl
1.
Pengertian Qiradl
(perkongsian tidak aktif)
Qiradl berasal dari kata qardl yang
artinya pinjaman. Sedangkan menurut syaraa’ qiradl adalah aqad mengenai penyerahan
modal kepada seseorang atau badan usaha tertentu agar diperkembangkan dan
keuntungannya menjadi hak kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian.
Persetujuan Qiradl adalah kontrak perjanjian oleh seseorang yang
mempercayakan modal kepada seorang pejual (amil) agar orang tersebut dapat
berdagang dengan modal yang diperlukan, sang pemberi modal mendapat bagian
keuntungan. Jadi dalam Qiradl, modal diserahkan kepada agen untuk berdagang dan
perjanjian yang mengikat ketika agen mulai berdagang.
Qiradl dianjurkan oleh Nabi SAW.
sendiri dan bentuk umum perdagangan pada
awal islam sangat dianjurkan .
2. Rukun
dan Syarat Qiradl
Ø Modal,
syaratnya modal harus diketauhi dengan pasti jumlahnya.
Ø Usaha
seperti dagang atau usaha lainnya diserahkan kepada yang menjalankan modal.
Ø Keuntungan,
syaratnya bagi hasilnya ditetapkan terlebih dahulu bedasarkan perjanjian kedua
belah pihak.
Ø Pemilik
modal dan orang yang menjalankannya, disyaratkan keduanya dewasa dan sehat
akalnya.
Dalam kontrak perkongsian sepihak,
modal tertentu diserahkan kepada agen
dengan syarat bahwa orang yang mempercayakan modal akan berpartisipasi dalam
pembagian keuntungan tertentu. Partner yang tidak aktif masih tetap pemilik
modal . agen hanya berlaku sebagai orang yang mendapat kepercayaan karena dapat
dipercaya. Agen hanyalah orang yang dibertanggung jawab bagi kealpaan atau
rusaknya aturan-aturan perjanjian.
Qiradl sewaktu-waktu boleh dibubarkan oleh yang punya modal atau
oleh orang yang diserahi pekerjaan itu, jika salah seorang diantaranya
meninggal atau gila maka qiradl itu batal.
Jika ada perselisihan antara
pemilik modal dan yang menjalankan modal maka yang membenarkan orang yang
menjalankan modal , kalau ia berani mengangkat sumpah , karena orang yang
bermodal sudah percaya sebelumnya kepada yang menjalankan modal sebab Qiradl
itu sifat nya amanah.
3. Larangan
bagi yang Menjalankan Modal
Ø Dalam
Qiradl, modal tidak boleh terdiri dari utang yang ditanggungkan oleh orang yang
mengutang kepada kreditornya.
Ø Juga
tidak boleh terdiri perjanjian atau jaminan keamanan, Yakni orang yang
mengutang atau orang yang memegang janji tidak boleh menjadi agen dan kreditor
dan tidak boleh menjadi pemodal.
Ø Tidak
boleh menggunakan harta untuk dirinya atau untuk derma.
Ø Tidak
boleh berdagang ke lain tempat yang jauh membutuhkan biaya perjalanan yang
banyak kecuali dengan izin yang punya modal.
Ø Dalam
pekongsian Qiradl resiko perusahaan tidak boleh dibebankan kepada agen, kalau
tidak demikian perjanjian itu akan menjadi tidak sah. Pembagian itu akan
dilarang apabila bersifat ganda atau tidak jelas, atau malah akan membingungkan
dikemudian hari.
Ø Agen disyaratkan untuk melaksanakan
kewajibannya secara jujur untuk memberi pertimbangan yang baik atas usahanya.
4. Perbedaan
antara Perkongsian biasa dengan Qiradl.
Perkongsian biasa itu ada selama
partner-partner itu ada. Pembagian yang termasuk dalam bentuk pekongsian biasa
adalah kecil. Semua partner menepati bagian yang aktif dalam perhatian dan
kontribusi pembagian modalnya. Sementara dalam Qiradh, pemilik modal
menyediakan dana, sementara agen aktif mengoperasikan seluruh perhatiannya
hampir tanpa kontrol pemilik modal. Agen dapat jauh dari tempat dimana
perjanjian itu dilakukan . dalam perkongsian Qiradh modal harus ada sebagai
aturan umum secara kontan namun dalam bentuk perkongsian biasa hal itu tidak
ada.
B.
IJARAH
(Sewa-menyewa)
1.
Pengertian dan Hukum
Ijarah
Hukum islam tentang perjanjian
sewa-menyewa disebut al-ijarah yang berasal dari kata Arab , Ajar yang berarti
upah, balasan atau pahala. Ketika satu pihak menjual jasa kepada orang lain dari harta yang bergerak untuk
mendapat imbalan disebut al-ijarah.
Manfaat di sini dapat berupa
manfaat barang seperti menaiki kendaraan, menepati rumah atau manfaat pekerjaan
seperti tukang jahit, tukang tenun, buruh, kariyawan, pengajar dan sebagainya. Dasar
hukum ijarah disyariatkan dalam Alquran, sunnah dan ijma’.
2. Rukun
Dan Syarat Ijarah adalah :
Ø Orang
yang menyewa dan yang menyewakn . syaratnya berakal,kehendak sendiri, bukan
dipaksa, tidak bersifat mubadzir, dan sudah baligh.
Ø Sewa,
disyaratkan keadaan barang yang disewa
diketaui jenisnya,kadarnya dan sifatnya.
Ø Adanya
ijab dan qabul.
Ø Harga
sewa yang pasti.
Ø Manfaatnya.
3.
Macam-macam Ijarah
Ø Menyewakan
tanah atau ladang.
Ø Menyewakan
barang seperti kendaraan,rumah,peralatan-peralatan dll.
Ø Menyewakan
binatang seperti sapi dan kerbau untuk membajak tanah dll.
Ø Jasa
manusia , mengupah manusia,
Sewa-menyewa lain dari
pinjam-meminjam, kalau suatu pinjaman mungkin pakai upah mungkin tidak, maka suatu
penyewaan barang pasti ada bayarannya. Untuk sewa-menyewa sama seperti
kerjasama yang lain, yang dipentingkan adil dan pantas serta jujur
pelaksanaannya.itulah firman Allah yang berbunyi:
“Sungguh Allah sangat menyukai
orang-orang yang berlaku adil dan pantas serta jujur” (Al-Maidah : 42).
Harga sewa harus dibayarkan hari
demi hari kecuali dalam kasus dibawah ini:
1. Apabila
terdiri dari obyek yang dah pasti.
2. Apabila
sewa itu ditetapkan.
3. Apabila
kebiasaan lokal berlaku.
4. Apabila
bagi persewaan binatang untuk perjalanan tertentu yang belum pasti.
Tentang besarnya sewa hendaklah
yang punya barang jangan terlalu tinggi sewanya, walaupun jika terlalu rendah
mungkin juga merugikannya. Misalnya untuk menyewakan barang-barang klasik,
pakaian pengantin harus seimbang dengan biaya memelihara barang yang umumnya
sudah tua itu. Tetapi juga tidak terlalu mahal (tinggi harga sewanya) maka itu
sangat menyulitkan bagi para penyewanya karena tidak ada yang lainnya terpaksa
ia menjual barang yang lainnya. Jika sipemilik sengaja menaikkan harga sewanya
karena tahu tidak ada orang lain yang punya barang sewaan seperti yang dia
punya, maka posisi orang yang menyewakan barang itu tidak lagi sebagai penolong
tetapi berubah menjadi orang yang zalim, orang yang tidak berperikemanusiaan
terhadap sesamanya. Allah SWT akan menghukumnya dengan menderita kerugian pada
sektor yang lain. Semoga kita menjauhi sikap ini.
4. Batal dan Habisnya Ijarah
Persetujuan tentang ijarah dapat
dibatalkan apabila:
Ø Penyewa
itu ditolak .
Ø Ruang
kerja ditutup oleh aturan pemerintah yang berkuasa.
Ø Ibu
susu yang disewa mengandung atau jatuh sakit dan tidak bisa lagi merawat anak.
Ø Persetujuan
ijarah berhenti karena meninggalnya orang yang bekerja yang disewa namun tidak
dapat batal karena meninggalnya tuan yang menyewa.
Ø Persetujuan
ijarah hilang, apabila benda yang disewa itu hilang namun bukan karena
meninggalnya orang yang menyewakan.
Ø Dimana percekcokan timbul sehubung dengan
persetujuan sewa rumah atau tanah secara verbal dan tidak ada pihak yang dapat
membuktikan dugaannya, masing-masing pihak harus mengucapkan sumpah dan
perjanjian ijarah harus dibatalkan.
Ø Terdapatnya
cacat/kerusakan pada barang yang disewa di tangan orang yang menyewakan atau
cacat sebelum diterima penyewa.
Ø Hilangnya
manfaat barang sewaan atau selesainya
pekerjaan atau habis masa sewa.
Ø Meyewakan
warung kemudian warung itu terbakar atau kecurian atau bangkrut dan sebagainya.
C. ‘ARIYAH
1.
Pengertian dan Hukum
Ariyah
‘Ariyah artinya secara bahasa
artinya pinjaman, maksudnya secara hukum
memberikan manfaat suatu barang pada seseorang tanpa hak memiliki oleh orang
tersebut tanpa juga merusak barang itu hingga hilang manfaatnya selanjutnya,
istilah itu sendiri terdapat dalam suatu hadis nabi yang berbunyi :
“pinjaman itu wajib dikembalikan,
sedang orang yang menjamin adanya pinjaman itu wajib membayar” (Al-Hadist R.
Abu Daud dan Tirmidzi).
Dasarnya perbuatan pinjam-meminjam
itu sendiri sebagai suatu amal kebolehan atau anjuran dalam AL-Quran yang
berbunyi:
“Bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan takwa
kepada Allah SWT”. (AL-maidah : 3).
Hukum meminjamkan itu pada dasarnya
sunnat, tetapi beredar menurut situasi dan kondisi misalnya ada orang mau
meminjam kain untuk shalat, sedangkan kita punya selain yang kita pakai. Maka
karena shalat itu wajib, hukum sunnat itu pun berubah jadi wajib pula. Tegantung
ada tingkat dan tujuannya.
Contoh yang lain misalnya orang mau
pinjam pisau tajam untuk memotong ayam, sedang kita punya dan tidak sedang
terpakai maka hukum meminjamkannya adalah sunnat muakkad ( sangat dianjurkan).
Sebaliknya ada orang yang mau berkelahi lalu seseorang meminjam pisau kita
untuk dipakai dalam perkelahian itu,
hukumnya haram jika kita pinjamkan, artinya tidak boleh kita pinjamkan.
2. Rukun
dan Syarat Ariyah
Ø Orang
yang meminjam barang.
Ø Orang
yang memberiakn pinjaman.
Ø Barang
yang dipinjamkan.
Ø Aqad
pinjam meminjam.
Syarat Ariyah :
a.
Baligh, berakal, dan
sah dalam melakukan tindakan hukum.
b.
Orang yang meminjam
suatu barang yang masih baik, wajib mengembalikan barang itu juga masih dalam
keadaan baik.
c.
Jika meminjam suatu
barang dihubungkan dengan massa manfaatnya , misalnya meminjam ladang untuk
sekali masa tanam padi, maka habis masa itu (terpakai atau tidak terpakai)
ladang itu harus dikembalikan dulu.
d.
Apabila masa pinjam
pertama selesai maka dapat diteruskan dengan masa pinjaman yang kedua dan
seterusnya.
e.
Apabila timbul sengketa
pendapat dalam hal pinjaman itu maka kedua belah pihak mendahulukan musyawarah
kekeluargaan, ada apabila gagal keduanya setuju untuk diselesaikan melalui
Pengadilan Negeri, begitu seterusnya
setiap ada kondisi baru yang ingin dimasukkan dalam perjanjian pinjaman
maka kedua belah pihak dapat menyetujuinya.
f.
Apabila pinjam-meminjam
itu tidak sempat diatur dalam perjanjian tertulis maka segala sesuatu yang
mungkin diselesaikan dapat diatur berdasarkan kepatutan atau keadilan.
g.
Apabila barang yang dipinjam
hilang atau rusak dengan sebab pemakaian yang diizinkan, peminjam tidak
mengganti karena pinjam meminjam itu percaya mempercayai, tetapi kalau dengan
sebab lain ia wajib mengganti.
D. AD-DAIN (Hutang
Piutang)
1.
Pengertian dan
Hukum Ad-dain
Berdasarkan ayat AlQuran dan Hadis
, maka para ulama berkesimpulan bahwa hukum hutang piutang adalah sunnat,
bahkan dalam beberapa hal bisa menjadi wajib. Seperti menghutangi orang yang
terlantar atau yang sangat membutuhkan.
Orang yang berhutang ialah orang
yang suatu ketika tidak punya uang,
tetapi akan punya uang diwaktu yang lain. Karena itu dia perlu berhutang dikala
itu dan berjanji akan membayar hutangnya itu diwaktu yang lain.
2. Rukun
Hutang Piutang
Ø Lafadh
dari orang yang mau hutang, lisan atau tulisan.
Ø Orang
yang berhutang dan yang menghutangi.
Ø Dengan
atau barang yang dihutangkan.
3.
Menambah dan
Pengembalian Hutang
Orang menghutangkan uangnya pada
seseorang artinya orang itu berpiutang pada orang yang berhutang itu, bisa saja
memberikan syarat bagi hutang itu.
Misalnya sewaktu mengembalikan uang yang dihutang itu hendaklah
menambahkan sedikit pemberian atau tanpa syarat samasekali, asal cepat jangan lebih dari satu bulan sudah
dikembalikan.
Jika syarat itu pantas maka
hukumnya boleh (tidak haram) tetapi apabila syarat terlalu tinggi maka itu jadi
haram karena riba. Jadi hutang bisa jadi pahala karena menolong, bisa juga
menjadi dosa karen membuat orang lain tambah menderita.
Supaya memberikan hutang jadi
berpahala hendaklah syarat pengembaliannya
pantas. Syukur jika tanpa beban yang memberatkan si penghutang misalnya dengan
memotong gajinya dalam waktu yang lama. Ini yang sering dilaksanakan oleh
Yayasan Sosial atau Koperasi Pekerja yang ingin menolong anggotanya atau
jemaahnya dari kesulitan misalnya tiba-tiba memerlukan uang tunai.
Bagi si penghutang sendiri
berhutang dengan niat akan membayar pada waktunya dan mengusahakan memenuhi
janjinya pada waktunya adalah juga berpahala karena mengelakkan dirinya dari
cara cari uang yang haram seperti mencuri, menipu atau memeras. Karena itu orang
yang beriman hendaklah berhutang, memberikan hutang atau menghutangi dengan
cara yang baik yang adil dan pantas serta jujur menyelesaikannya.
Apabila seseorang yang berhutang
itu memberikan kelebihan dalam membayar hutangnya maka boleh diterima. Sabda
Rasullullah SAW:
“orang yang paling baik diantara
kami ialah orang yang dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik” (H.R.
Ahmad dan Tirmidzi)
Orang yang mampu membayar hutang,
bila ia sanggup tetapi tidak melunasi hutangnya setelah sampai pada batas
waktunya , dianggap sebagai orang yang zhalim. Rasullullah bersabda, “penundaan pembayaran hutang dari orang yang
kaya adalah perbuatan zhalim”.
E.
JI’ALAH
(Upah dalam Sayembara)
1.
Pengertian dan Hukum Ji’alah
Hukum ji’alah adalah mubah. Rukun ji’alah
diantaranya lafadh, orang yang menjanjikan upahnya, pekerjaan, dan upah.
Ji’alah artinya upah atau pemberian,
yakni semacam pemberian yang dijanjikan kepada seseorang yang dapat menemukan
kembali suatu barang yang hilang. Zaman sekarang ini dapat kita temukan dalam
iklan-iklan surat kabar. Apabila nantinya ada orang yang mengembalikan barang
yang hilang itu di kantor polisi maka wajib bagi si pemilik barang untuk
membayarkan upah yang dijanjikannya itu pada orang yang menemukannya. Dan tentu
saja peristiwa ini tidak boleh dijuruskan pada penuntutan hukum kepada yang
bersangkutan atau pemeriksaan yang amat menyusahkannya.
Masalah Ji’alah adalah masalah yang
bersifat ta’awun (tolong-menolong) bukan bersifat daya upaya untuk menjerat
pihak yang menemukan barang. Adapun
janji yang dinyatakan secara terbuka itu tidak boleh dikurangi tetapi boleh
ditambah jika si pejanji ingin melakukannya dan atas persetujuan orang yang
dijanjikan.
Ji’alah juga berlaku untuk
perjanjian yang baru mulai mengusahakan, misalnya seorang laki-laki berseru
pada orang banyak : “Tuan-tuan sekalian!! Barang saya jatuh di tengah laut
siapa yang menemukannya akan saya berikan hadiah satu juta rupiah”. Sepuluh
orang telah berjanji untuk mencarikan barang tersebut, apabila ditemukan oleh
seorang dari padanya maka hendaklah dibagi satu juta itu pada sepuluh orang
tersebut.
2. Pembatalan
Ji’alah
Pembatalan ji’alah boleh
menghentikan perjanjian sebelum bekerja, kalau yang membatalkannya orang yang
bekerja maka dia tidak mendapat upah walau pun dia suadah bekerja. Tetapi kalau
yang membatalkan dari pihak yang menjanjikan upah , maka yang bekeja berhak
menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dikerjakannya.
F.
MUDHARABAH
(Kerjasama Bagi Hasil)
Mudharabah adalah kontrak dimana
harta tertentu atau stok diberikan oleh pemilik kepada kelompok lain untuk
membentuk kerjasama bagi hasil dimana kedua kelompok tadi akan berbagi hasil
keuntungan. Kelompok lain berhak terhadap keuntungan sebagai upah kerja karena
mengelola harta. Kontrak ini adalah kerjasama bagi hasil.
Berusaha dimuka bumi Allah untuk
menjalankan perdagangan atau bekerja, dijelaskan di dalam surah Al-Baqarah.
G.
PERJANJIAN
PERDAGANGAN YANG HARAM
Dalam Sunnah Nabi, aqad perdagangan
dibawah ini adalah haram. Masing-Masing Sunnah Nabi tersebut dijelaskan di
bawah ini:
1. Dua
aqad dalam satu perdagangan:
“Rasulullah
mengharamkan satu aqad perdagangan dalam dua aqad penjualan”
2.
Tambahan syarat
diberikan untuk penjualan:
“Rasulullah SAW.
Melarang membubuhkan syarat tambahan dengan aqad pejualan”. Aqad jual beli itu
tidak boleh dicampur aduk dengan syarat persetujuan.
3.
Penjualan yang bukan
haknya:
“Rasulullah SAW.
Melarang aku menjual sesuatu yang bukan milikku.”
4.
Perdagangan
Al-Mulamisah dan Al-Munabihah:
“Rasulullah SAW.
Merang aku untuk menjual sesuatu yang bukan milikku”. Atau menjual sesuatu yang
tidak jelas dan tidak tampak secara nyata.”
5.
Al-Najasi itu dilarng:
“Rasulullah
melarang jual beli dengan barang yang najis”
6.
Talaqa Rukban:
“Rasulullah SAW.
Melarang pergi ke kampung dan menemukan kafilah dagang dengan bermaksud menipu
pedagang kampung itu dengan harga yang terlalu mahal”
7. Bai’
Hadir Libadi:
“Rasulullah SAW. Melarang penduduk desa
bertindak menipu sebagaimana seseorang memaksakan agen untuk menjual dan
membeli dari penduduk kampung yang sederhana”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ø Qiradl
berasal dari kata qardl yang artinya pinjaman. Sedangkan menurut syaraa’ qiradl
adalah aqad mengenai penyerahan modal kepada seseorang atau badan usaha
tertentu agar diperkembangkan dan keuntungannya menjadi hak kedua belah pihak
sesuai dengan perjanjian.
Ø Hukum
islam tentang perjanjian sewa-menyewa disebut al-ijarah yang berasal dari kata
Arab , Ajar yang berarti upah, balasan atau pahala. ketika satu pihak menjual
jasa kepada orang lain dari harta yang
bergerak untuk mendapat imbalan disebut Ijarah (sewa-menyewa).
Ø ‘Ariyah
artinya secara bahasa artinya pinjaman, maksudnya secara hukum memberikan manfaat suatu barang
pada seseorang tanpa hak memiliki oleh orang tersebut tanpa juga merusak barang
itu hingga hilang manfaatnya.
Ø Hukum
Ad-Dain (hutang piutang) adalah sunnat, bahkan dalam beberapa hal bisa menjadi
wajib. Seperti menghutangi orang yang terlantar atau yang sangat membutuhkan.
Orang yang berhutang ialah orang yang suatu ketika tidak punya uang, tetapi akan punya uang diwaktu yang
lain. Karena itu dia perlu berhutang dikala itu dan berjanji akan membayar
hutangnya itu diwaktu yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Ramulyo, Idris. 2004. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
Doi, A. Rahman I. 1997. Pejelasan Lengkap Hukum Hukum ALLAH
(SYARIAH). Jakarta: PT RajaGrafido Persada.
Al-Aziz,
Saifullah. 2005. Fiqih Islam Lengkap. Surabaya:
Terbit Terang.
hasbullah